BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah
satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI
menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait
dengan gangguan kehamilan atau penanganannya ( tidak termasuk kecelakaan atau
kasusu insidentif ) selama kehamilan, melahirkan dan masa nifas ( 42 hari
setelah melahirkan ) tanpa memperhitungkan
lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia,
2010 ).
Angka
kematian ibu saat ini masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015
sesuai dengan kesepakatan sasaran pembangunan Millenium Development Golds/ MDGs
(Marisah,
dkk, 2011).
Rata-rata angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia mengalami kenaikan dari 228 ribu kasus kematian
per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007, menjadi 359 per 100 ribu pada 2012
(Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia-SDKI 2012).
Adapun penyebab langsung dari
kematian ibu di Indonesia adalah trias klasik yaitu perdarahan, infeksi,
toksemia gravidarum. Perdarahan sebanyak 30% dari total kasus
kematian, eklamsi (keracunan kehamilan) 25%, infeksi 12%. Salah satu dari
ketiga ketiga faktor tersebut adalah perdarahan, perdarahan dapat terjadi pada
saat kehamilan, persalinan dan masa nifas. Perdarahan yang terjadi pada
kehamilan, bisa terjadi pada awal kehamilan maupun kehamilan lanjut, dengan
besar angka kejadiannya 3% pada kehamilan lanjut dan 5% pada awal kehamilan.
Perdarahan yang terjadi pada awal kehamilan meliputi abortus, mola hidatidosa
dan kehamilan ektopik. Pada kehamilan lanjut antara lain meliputi Solutio
Plasenta dan Plasenta Previa. Dari kasus perdarahan diatas ternyata didapatkan
besar kasus paling tinggi adalah perdarahan pada awal kehamilan yang dari salah
satu perdarahan awal kehamilan tersebut terdapat kehamilan molahidatidosa.
Molahidatidosa adalah Tumor jinak
dari trofoblast dan merupakan kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus
korialis langka, vaskularisasi dan edematous, janin biasanya meninggal akan
tetapi villus-villus yang membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus
menerus, sehingga gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur.
Penyebab pasti terjadinya kehamilan Mola hidatidosa belum diketahui pasti,
namun ada beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu faktor ovum, imunoselektif
trofoblast, usia, keadaan sosio-ekonomi yang rendah, paritas tinggi, defisiensi
protein, infeksi virus dan faktor kromosom yang jelas, dan riwayat kehamilan
mola sebelumnya. Jenis pada molahidatidosa yaitu Molahidatidosa Komplet (MHK)
dan Molahidatidosa Parsial (MHP). Angka kematian yang diakibatkan oleh
kehamilan Molahidatidosa berkisar antara 2,2% - 5,7% (Prawirohardjo, 2009).
Pada kehamilan Molahidatidosa jika
tidak dilakukan penanganan secara komprehensif maka masalah kompleks dapat
timbul sebagai akibat adanya kehamilan dengan Molahidatidosa yaitu TTG (Tumor
Trofoblast Gestasional) dimana TTG ini terbagi menjadi 2 macam yaitu:
Choriocarcinoma non Villosum dan Choriocarcinoma Villosum yang bersifat hematogen
dan dapat bermetastase ke vagina, paru-paru, ginjal, hati bahkan sampai ke
otak. Dengan presentasi kejadian tersebut berkisa 5,56 % (Prawirohardjo, 2009).
Penatalaksanaan pada Molahidatidosa
ada tiga tahap yaitu perbaikan keadaan umum ibu, pengeluaran jaringan mola
dengan cara Kuretase atau Histerektomi, dan pemeriksaan tindak lanjut
yaitu follow up selama 12 bulan, dengan mengukur kadar β-HCG dan mencegah
kehamilan selama 1 tahun. Tindak lanjut serta penatalaksanaan saat ini berpusat
pada pengukuran serial kadar β-HCG serum untuk mendeteksi Tumor Trofoblast
Persisten.
Dengan melihat dampak yang
diakibatkan dari mola hedatidosa ini penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut lagi pasien Ny “Y” usia 45 tahun dengan mola hedatidosa di RSUD Prof. Dr.
MA. Hanafiah Batusangkar.
1.2. Batasan masalah
Dalam penulisan laporan ini, penulis
membatasi dalam hal penerapan manajemen asuhan kebidanan pada Ny “Y” dengan
mola hedatidosa di RSUD Prof. Dr.MA.Hanafiah Batusangkar pada tanggal 16 dan 17
oktober 2013.
1.3. Tujuan penulisan
1.3.1
Tujuan umum
Dari latarbelakang mempu melakukan asuhan
kebidanan pada Ny “Y” dengan mola hedatidosa di bangsal kebidanan RSUD Prof.
Dr.MA.Hanafiah Batusangkar
1.3.2
Tujuan khusus
1.3.2.1 Mampu melakukan pengkajian dan pengumpulan
data terhadap Ny “Y”dengan mola
hedatidosa
1.3.2.2 Mampu menginterpretasikan secara benar masalah
atau diagnosa berdasarkan data-data yang diperoleh dari Ny “Y” dengan mola hedatidosa
1.3.2.3 Mampu mengidentifikasi diagnosa potensial, masalah
dan kebutuhan berdasarkan hasil pengkajian pada Ny “Y” dengan mola hedatidosa.
1.3.2.4 Mampu mengidentifikasi perlunya tindakan
segera secara mandiri, kolaborasi, dan rujukan pada Ny “Y” dengan mola
hedatidosa
1.3.2.5 Mampu merencanakan tindakan atau asuhan yang
diberikan pada Ny “Y”dengan mola hedatidosa.
1.3.2.6 Mampu melaksanakan rencana asuhan secara
efesien dan aman pada Ny “Y” dengan mola hedatidosa
1.3.2.7 Mampu mengevaluasi tindakan yang sudah diberikan
pada Ny “Y” dengan mola hedatidosa
1.3.2.8 Mampu mendokumentasikan hasil pengkajian
sampai evaluasi asuhan yang diberikan pada Ny “Y”dengan mola hedatidosa.
1.4. Manfaat penulisan
1.4.1 Bagi penulis
Merupakan
penerapan ilmu yang didapatkan selama proses pembelajaran di bangku perkuliahan
sehingga menanamkan pengetahuan bagi penulis serta dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan penulis dan dapat mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dalam penerapan manajemen asuhan kebidanan pada kasus ibu dengan mola
hedatidosa.
1.4.2
Bagi Tempat Praktek
Hasil penulisan dapat digunakan Sebagai bahan masukan dan sumbangan
pemikiran bagi petugas kesehatan dalam
upaya meningkatkan asuhan kebidanan pasien di bangsal kebidanan RSUD Prof. Dr.MA.Hanafiah
Batusangkar
1.4.3
Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai
sumber bacaan dan referensi bagi perpustakaan serta dapat digunakan sebagai perbandingan
dan pedoman dalam pembuatan laporan selanjutnya serta dapat memberikan
informasi bagi pendidikan khususnya bagi mahasiswa Program Studi D-III
Kebidanan dan sebagai bahan masukan perpustakaan bagi pendidikan untuk penelitian, serta
sumbangan pikiran pada institusi pendidikan mengenai kasus mola hedatidosa yang
terjadi di bangsal kebidanan RSUD Prof. Dr.MA.Hanafiah
Batusangkar
1.5Ruang Lingkup
Penulisan laporan dilaksanakan
untuk mengetahui manajemen
asuhan kebidanan pada Ny “Y” dengan mola hedatidosa di RSUD Prof. Dr. MA. Hanafiah
SM Batusangkar pada tanggal 16 dan 17 oktober 2013.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Mola hedatidosa
2.1.1 Definisi Mola hedatidosa
Mola
hedatidosa adalah suatu kehamilan dimana hasil konsepsi tidak berkembang
menjadi embrio, tetapi terjadi proliferasi dari vili koriales disertai dengan degenerasi
hidropik (Fadlun, Achmad, 2012).
Mola hedatidosa adalah suatu kehamilan yang
berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh villi
korialis mengalami perubahan berupa degenerasi hidropik. Secara makroskopik ,
mola hedatidosa mudah dikenal yaitu berupa gelembung-gelembung putih, tembus
pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari beberapa milimeter
sampai 1 atau 2 cm (Prawirohardjo, 2009).
Mola
hedatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villus korialis
langka vaskularisasi, dan edematous. Janin biasanya meninggal, akan tetapi
villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran
yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblast pada
villus kadang-kadang berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan
mengeluarkan hormone, yakni human
chorionic gonadotrophin (HCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada
kehamilan biasa (Prawirohardjo, 2008).
Mola
hedatidosa adalah suatu kehamilan dimana setelah fertilisasi hasil konsepsi
tidak berkembang menjadi embrio tetapi terjadi proliferasi dari vili korialis
disertai dengan degenarasi hidropik. Uterus melunak dan berkembang lebih cepat
dari usia gestasi yang normal, tidak dijumpai adanya janin, kavum uteri hanya
terisi oleh jaringan seperti rangkaian buah anggur (Prawirohardjo, 2009).
2.1.2
Klasifikasi
Mola Hedatidosa
2.1.2.1 Mola
hedatidosa komplet
Secara umum vili korionik tampak sebagai
massa yang terdiri dari vesikel-vesikel jernih. Vesikel-vesikel ini memiliki
ukuran bervariasi, dan sulit dilihat hingga beberapa sentimeter dan seirng
menggantung berkelompok pada tangkai ramping. Secara histologist, lesi biasanya
memperlihatkan degenerasi hidropik dan oedema vilus, tidak adanya pembuluh
darah vilus, proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi dan tidak
adanya mudigah seperti janin dan amnion.
Komposisi kromosom mola komplet biasanya
diploid dan berasal dari ayah. Sekitar 85 persen adalah adalah 46 XX dengan
kedua set kromosom berasal dari ayah. Ovum dibuahi oleh sperma haploid yang
menduplikasikan kromosomnya sendiri setelah meiosis (androgenesis). Kromosom
ovum tidak ada atau inaktif. Pada mola komplet lainnya, pola kromosom mungkon
46 XY akibat fertilisasi dispermik.
Kehamilan mola komplet memiliki insiden
sekuele ganas yang lebih tinggi dibandingkan dengan mola parsial. Pada sebagian
besar penelitian, 15 sampai 20 persen mola komplet memperlihatkan tanda-tanda
penyakit trofoblastik persisten.
2.1.2.2
Mola hedatidosa parsial
Gambaran suatu kehamilan mola inkomplet
atau parsial mencakup adanya sejumlah elemen jaringan janin dan perubahan
hedatidoformis yang bersifat fokal dan kurang lanjut. Terjadi pembengkakan
progresif lambat didalam stoma vilus korion yang biasanya avaskuler, sementara
vilus vascular yang memiliki sirkulasi janin-plasenta yang berfungsi, tidak
terkena
Pada mola parsial kariotip biasanya
triploid 69,XXX, 69,XXY, atau yang jauh lebih jarang 69 XYY, Kariotip ini masing-masing
tersusun oleh satu set kromosom haploid ibu dan dua set kromosom haploid ayah.
Resiko penyakit trofoblastik persisten
setelah mola parsial jauh lebih rendah daripada setelah kehamilan mola komplet.
Selain itu penyakit, penyakit persisten jarang merupakan kariokarsinoma. Sckll,
dkk (2000) mencatat hanya 3 dari 3000 mola parsial yang mengalami penyakit
koriokarsinoma. Growdob, dkk (2006) menemukan bahwa kadar HCG pasca evakuasi yang lebih tinggi berkolerasi
dengan peningkatan resiko penyakit yang persisten. Secara spesifik, kadar ≥ 200
Miu/ML pada minggu ketiga sampai kedelapan pasca evakuasi dilaporkan berkaitan
dengan resiko penyakit persisten setidaknya 35 persen.
2.1.2.3
Kehamilan mola kembar
Kehamilan mola kembar terdiri dari satu
kehamilan mola diploid komplet dan satu kehamilan normal tidak jarang dijumpai.
Niemann dkk (2006) melaporkan bahwa 5 persen mola diploid adalah bagian dari
kehamilan kembar dengan satu janin. Kelangsungan hidup janin tersebtu
bervariasi dan bergantung pada apakah diagnosis ditegakkan, dan jika demikian,
apakah timbul masalah akibat komponen mola, misalnya preeclampsia dan
perdarahan. Dalam ulasannya , Vejerslev (1991) mendapatkan bahwa dari 113
kehamilan semacam ini, 45 persen berkembang hingga 28 minggu, dan dari jumlah
ini, 70 persen neonates bertahan hidup.
Dibandingkan dengan mola parsial, wanita
dengan kehamilan kembar jenis ini meperlihatkan resiko substansial mengalami
neoplasma trofoblastik gestasional. Tetapi resiko ini tampaknya lebih besar
daripada setelah mola komplet tunggal (Niemann dkk, 2007). Dalam kajian mereka
terhadap 77 kehamilan, sebire dkk (2002) melaporkan bhwa 21 persen kehamilan
yang tidak diakhiri akan memerlukan kemoterapi untuk penyakit persisten. Angka
ini tidak secara bermakna, berbeda dari angka 16 persen pada wanita yang
mengakhiri kehamilan mereka. Dalam serangkaian penelitian oleh Niemann dkk
(2006) 25 persen dari kehamilan kembar semacam ini kemudian memerlukan
kemoterapi.
2.1.3 Etiologi Mola Hidatidosa
Penyebab
molahidatidosa belum diketahui secara pasti, namun ada faktor-faktor
penyebabnya adalah : ( Fadlun, 2012).
2.1.3.1
Faktor
ovum
Pembuahan
sel telur dimana intinya telah hilang atau tidak aktif lagi oleh sebuah sel
sperma.
2.1.3.2 Imunoselektif dari trofoblas
Perkembangan molahidatidosa diperkirakan disebabkan oleh kesalahan respon imun
ibu terhadap invasi oleh trofoblas. Akibatnya vili mengalami distensi kaya
nutrient. Pembuluh darah primitive di dalam vilus tidak terbentuk dengan
baik sehingga embrio ‘ kelaparan’, mati, dan diabsorpsi, sedangkan trofoblas
terus tumbuh dan pada keadaan tertentu mengadakan invasi kejaringan ibu.
2.1.3.3
Usia
Faktor usia yang dibawah 20 tahun dan diatas
35 tahun dapat terjadi kehamilan mola. Prekuensi molahidatidosa pada kehamilan
yang terjadi pada awal atau akhir usia subur relatif tinggi. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa pada usia berapa pun dalam usia subur dapat terjadi kehamilan
mola.
2.1.3.4
Keadaan
sosio-ekonomi yang rendah
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan keadaan
sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan
tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
janinnya.
2.1.3.5
Paritas
tinggi
Pada ibu yang berparitas tinggi, cenderung beresiko terjadi kehamilan
molahidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi secara
genetik yang dapat diidentifikasikan dengan penggunaan stimulandrulasi seperti
klomifen atau menotropiris (pergonal). Namun juga tidak dapat dipungkiri pada
primipara pun dapat terjadi kehamilan molahidatidosa.
2.1.3.6
Defisiensi
protein
Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian tubuh sehubungan
dengan pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim dan buah dada ibu, keperluan akan
zat protein pada waktu hamil sangat meningkat apabila kekurangan protein dalam
makanan mengakibatkan pertumbuhan pada janin tidak sempurna.
2.1.3.7 Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas
Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau
adanya mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu menimbulkan penyakit ( desease ). Hal ini sangat tergantung
dari jumlah mikroba ( kuman atau virus ) yang termasuk virulensinya seta daya
tahan tubuh.
2.1.3.8 Riwayat kehamilan mola sebelumnya
Kekambuhan
molahidatidosa dijumpai pada sekitar 1-2% kasus. Dalam suatu kejadian terhadap
12 penelitian yang total mencangkup hampir 5000 Kelahiran, frekwensi mola
adalah 1,3%. Dalam suatu ulasan tentang molahidatidosa berulang tapi pasangan
yang berbeda bisa disimpulkan bahwa mungkin terdapat “ masalah oosit primer “
2.1.4.
Patofisiologi
Gambaran klinis khas wanita dengan
kehamilan mola telah banyak berubah sejak beberapa decade terakhir karena
diagnosis yang kebih dini. Sebagian besar wanita datang mengunjungi perawatan
prenatal lebih dini dan menjalani sonografi sehingga kehamilan mola terdeteksi
sebelum tumbuh membesar dengan lebih banyak penyulit (Kerkmeijer, dkk. 2009 ).
Dalam banyak hal, perubahan gambaran klinis analog dengan yang terjadi pada
kehamilan ektopik. Secara umum gejala lebih mencolok pada mole komplet
dibandingkan dengan mola parsial.
2.1.5 Tanda dan Gejala Mola
Hedatidosa
Biasanya terjadi amenore 1 sampai 2
bulan, mungkin terdapat mual dan muntah yang signifikan. Akhirnya terjadi
perdarahan uterus pada hampir semua kasus, yang mungkin bervariasi dari sekedar
bercak (spotting) hingga perdarahan hebat. Perdarahan dapat berawal tepat
sebelum abortus mola spontan atau lebih sering, berlangsung secara intermitten
selama beberapa minggu sampai bulan. Pada mola tahap lanjut, mungkin terjadi
perdarahan uterus yang tersamar disertai anemia defisiensi derajat sedang.
Pada sekitar separuh kasus,
pertumbuhan uterus lebih cepat daripada perkiraaan. Uterus memiliki konsistensi
lunak. Pada pemeriksaan bimanual, kista teka lutein yang besar kadang sulit
dibedakan dari uterus yang membesar, biasanya tidak terdeteksi gerakan jantung
janin.
Akibat efek mirip-tirotropin dari
Hcg maka kadar tiroksin bebas dalam plasma sering meningkat sementara TSH
menurun. Meskipun demikian, secara klinis jarang dijumpai tirotoksikosis
meskipun pernah dilaporkan terjadinya thyroid storm (chiniwala, dkk. 2008)
Kadar
T4 bebas dalam serum sering cepat menjadi normal setelah evakuasi uterus. Pada
mola besar kadang terjadi preeclampsia awitan dini. Karena hipertensi gestasional
jarang dijumpai sebelum 24 minggu, maka preeclampsia yang timbul sebelum waktu
ini sepatutnya menimbulkan kecurigaan akan kehamilan mola. Yang menarik tidak
ada satupun dari 24 wanita dengan mola komplet yang dilaporkan oleh Coukos dkk
(1999) mengalami hiperemesis, tirotoksikosis klinis atau preeclampsia.
2.1.6 Prognosis
Kematian pada mola hedatidosa
disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung atau tirotoksikosis. Di
Negara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi. Akan tetapi, di Negara
berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2 % dan 5,7 %. Sebagian
dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah jaringannya dikeluarkan,
tetapi ada sekelompok perempuan yang kemudian menderita degenerasi keganasan
menjadi koriokarsinoma. Persentase keganasan yang dilaporkan oleh berbagai
klinik sangat berbeda-beda, berkisar antara 5,56 %. Bila terjadi keganasan,
maka pengelolaan secara khusus pada devisi Onkologi Ginekologi ( Prawirohardjo,
2009 ).
2.1.7 Diagnosis
Adanya mola hedatidosa harus
dicurigai bila ada perempuan dengan amenorhe, perdarahan pervaginam, uterus
yang lebih besar dari tuanya kehamilan dan tidak ditemukan tanda kehamilan
pasti seperti ballottement dan detak jantung anak. Untuk memperkuat diagnosis
dapat dilakukan pemeriksaan kadar Human Chorionic Gonadotropin (hCG) dalam
darah atau urin, baik secara biosay, immunoassay, maupun radioimmunosay.
Peninggian HCG terutama dari hari ke 100, sangat sugestif. Bila belum jelas
dapat dilakukan pemeriksaan USG, dimana kasus mola menunjukkan gambaran yang
khas, yaitu berupa badai salju (snow flake patterm) atau gambaran seperti
sarang lebah (honey comb).
Diagnosis yang paling tepat bila
kita melihat keluarnya gelembung mola. Namun bila kita menunggu sampai
gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat karena pengeluaran gelembung
umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaa umum pasien menurun. Terbaik
adalah bila dapat mendiagnosis mola sebelum keluar.
Pada kehamilan trimester I gambaran mola hedatidosa tidak spesifik,
sehingga sering kali sulit dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed
abortion, abortus inkompletus atau mioma uteri. Pada kehamilan trimester II gambaran
mola hedatidosa umumnya lebih spesifik . kavum uteri berisi massa ekogenik
bercampur bagian-bagian anekoik vesikuler berdiameter antara 5-10 mm. gambaran
tersebut dapat dibayangkan seperti gambaran sarang lebah (honey comb) atau badai salju (snow
storm). Pada 20-50 % kasus dijumpai adanya massa kistik multikuler didaerah
adneksa. Massa tersebut berasal dari kista teka-lutein ( Obstetri Williams ,
2012 )
2.1.8
Diagnosis
Banding
2.1.8.1 Kehamilan
ganda
2.1.8.2 Hidramnion
2.1.8.3 Abortus
2.1.9
Komplikasi
2.1.9.1 Perdarahan
yang hebat sampai syok, kalau tidak segera ditolong dapat berakibat fatal
2.1.9.2 Perdarahan
berulang-ulang dapat menyebabkan anemia
2.1.9.3 Infeksi
sekunder
2.1.9.4 Perforasi
karena keganasan dan karena tindakan
2.1.9.5 Menjadi
ganas pada kira-kira 18-20 % kasus, akan menjadi koriokarsinoma.
2.1.10
Faktor
resiko terjadinya Mola hedatidosa
2.1.10.1 Usia
Usia ibu di kedua ujung spectrum reproduksi adalah
factor resiko untuk kehamilan mola. Secara spesifik, remaja dan wanita berusia
36 hingga 40 tahun memiliki resiko dua kali lipat dan mereka yang berusia lebih
dari 40 tahun hampir 10 kali lipat.
2.1.10.2
Riwayat kehamilan mola
Terdapat peningkatan resiko substansial untuk
penyakit trofoblastik rekuren. Dalam suatu ulasan terhadap 12 penelitian yang
mencakup total 5000 kehamilan mola, frekuensi mola rekuren adalah 1,3 perseb.
Resikonya adalah 1,5 persen untuk mola komplet dan 2,7 persen untuk mola
parsial. Berkowitz dkk (1998) melaporkan bahwa 23 persen wanita yang pernah
mengalami 2 kali kehamilan mola memiliki mola ketiga. Mola hedatidosa berulang
pada wanita dengan pasangan yang berbeda menandakan bahwa pembentukan mola
disebabkan oleh defek oosit.
2.1.10.3
Factor resiko lain
Pemakaian kontrasepsi oral dan durasinya serta
riwayat keguguran meningkatkan kemungkinan kehamilan mola hingga dua kali lipat
(palmer, dkk, 1999). Studi-studi lain mengemukakan adanya peran merokok,
berbagai defesiensi vitamin, dan peningkatan usia.
2.1.11 Penanganan Mola hedatidosa
Berhubung dengan kemungkinan, bahwa mola
hedatidosa menjadi ganas, maka terapi terbaik pada wanita dengan usia yang
sudah lanjut dan sudah mempunyai jumlah anak yang diingini ialah histerektomi.
Akan tetapi pada wanita yang masih menginginkan anak, maka setelah diagnosis
mola dipastikan dilakukan pengeluaran mola dengan kerokan isapan (sunction
curettage) disertai dengan pemberian infuse oksitosin intravena. Sesudah itu
dilakukan kerokan dengan kuret tumpul untuk mengeluarkan sisa-sisa konseptus,
kerokan perlu dilakukan hati-hati berhubung dengan bahaya perforasi
Tujuh sampai sepuluh hari sesudahnya
dilakukan kerokan ulangan dengan kuret tajam. Agar ada kepastian bahwa uterus
betul-betul kosong . dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblast yang dapat ditemukan. Makin tinggi tingkat itu, makin perlu untuk
waspada terhadap kemungkinan keganasan.
Sebelum mola dikeluarkan, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan rontgen paru-paru untuk menentukan ada tidaknya
metastasis ditempat tersebut.
Setelah mola dilahirkan, dapat
ditemukan bahwa kedua ovarium membesar menjadi kista teka-lutein. Kista-kista
ini yang tumbuh karena pengaruh hormonal, kemudian mengecil sendiri.
Ø Pengamatan
lanjutan
Pengamatan lanjutan pada wanita
dengan mola hedatidosa yang uterusnyadikosongkan, sangat penting berhubung
dengan kemungkinan timbulnya tumor ganas (dalam ± 20 %). Anjuran untuk pada
semua penderita pasca mola dilakukan kemoterapi untuk mencegah timbulnya
keganasan, belum dapat diterima oleh semua pihak ( Obstetri Williams, 2013 ).
Pada pengamatan lanjutan , selain
untuk memeriksa terhadap kemungkinan timbulnya metastasis, sangat penting untuk
memeriksa kadar hormone koriogonadotropin (HCG) Secara berulang.
Pada kasus-kasus yang tidak menjadi
ganas, kadar HCG lekas turun menjadi negative, dan tetap tinggal negative. Pada
awal masa pasca mola dapat dilakukan tes hamil biasa, akan tetapi setelah tes
hamil biasa menjadi negative, perlu dilakukan pemeriksaan radio-immunoassay HCG
dalm serum. Pemeriksaan yang peka ini dapat menemukan hormon dalam kuantitas
yang rendah.
Pemeriksaan kadar HCG
diselenggarakan tiap minggu sampai kadar menjadi negative selama 3 minggu, dan
selanjutnya tiap bulan selama 6 bulan. Sampai kadar HCG menjadi negatif,
pemeriksaan rontgen paru-paru dilakukan tiap bulan. Selama dilakukan
pemeriksaan kadar HCG , penderita diberitahukan supaya tidak hamil. Pemberian
pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal : 1) mencegah kehamilan baru, dan 2)
menekan pembentukan LH oleh hipofisis, yang dapat mempengaruhi pemeriksaaan
kadar HCG. Apabila tingkat kadar HCG tidak turun dalam 3 minggu berturut-turut
atau malah naik, dapat diberi kemoterapi, kecuali jika penderita otidak
menghendaki bahwa uterus dipertahankan dalam hal ini dilakukan histerektomi.
Kemoterapi dapat dilakukan dengan
pemberian Methotrexate atau dactinomycin, atau kadaang-kadang dengan kombinasi
2 obat tersebut. Biasanya cukup hanya memberi satu seri dari obat yang
bersangkutan. Pengamatan lanjutan terus dilakukan, sampai kadar HCG menjadi
negative selama 6 bulan.
2.2 Konsep Manajemen Asuhan
Kebidanan
Proses
manajemen kebidanan merupakan proses pemecahan masalah. Proses ini merupakan
sebuah metode dengan pengorganisasian pemikiran dan tindakan-tindakan dengan
urutan yang logis dan menguntungkan baik bagi klien maupun bagi tenaga
kesehatan. Proses ini menguraikan bagaimana prilaku yang diharapkan dan
pemberian asuhan. Proses manajemen ini bukan hanya terdiri dari pemikiran dan
tindakan apa saja melainkan juga prilaku pada setiap langkah agar pelayanan
yang komprehensif dan aman dan dapat tercapai. Dengan demikian proses manajemen
harus mengikuti urutan yang logis dan memberikan pengertian yang menyatukan
pengetahuan, hasil temuan, dan penilaian yang terpisah-pisah menjadi satu
kesatuan yang berfokus pada manajemen (Varney, 1997).
Proses
manajemen menurut varney (1997) terdiri dari 7 langkah yang berurutan diman
setiap langkah disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dengan pengumpulan
data dasar dan berakhir dengan evaluasi. Ketujuh langkah tersebut membentuk
suatu kerangka konsep yang dapat diaplikasikan dalam situasi apapun.
Langkah-langkah penerapan manajemen kebidanan dilakukan secara berkesinambungan,
yaitu :
1. Mengumpulkan
data yang diperlukan untuk mengidentifikasi pasien secara lengkap
2. Mengantisipasi
masalah atau diagnose berdasarkan interpretasi yang benar dari data tersebut
3. Mengantisipasi
masalah potensial dan diagnose lainnya yang mungkin terjadi karena masalah atau
diagnose yang telah diidentifikasi
4. Mengevaluasi
perlunya intervensi segera oleh bidan atau dokter
5. Mengembangkan
rencana asuhan yang menyeluruh
6. Mengembangkan
rencana asuhan tersebut secara efesien dan aman
7. Mengevaluasi
keefektifan dari asuhan yang telah diberikan.
Langkah-langkah
dalam penatalaksanaan pada dasarnya jelas, akan tetapi dalam pembahasan singkat
mengenai langkah-langkah tersebut mungkin akan lebih memperjelas proses
pemikiran dalam proses klinis yang berorientasi pada langkah ini. Penulis
membatasi hanya pada kasus mola hedatidosa.
Ketujuh
langkah tersebut adalah sebagai berikut.
2.2.1
Langkah
I : Pengumpulan data
2.2.1.1 Pengumpulan
Data Subjektif
1) Biodata
a) Nama
: perlu ditanyakan agar tidak keliru bila ada kesamaan nama antara pasien yang
satu dengan yang lainnya.
b) Umur
: perlu ditanyakan untuk mengetahui pengaruh umur terhadap permasalahan
kesehatan pasien.
Umur reproduksi yang
beresiko mengalami mola hedatidosa adalah remaja dan wanita berusia 36 hingga
40 tahun memiliki resiko dua kali lipat dan mereka yang berusia lebih dari 40
tahun hampir 10 kali lipat.
c) Alamat
: ditanyakan untuk maksud mempermudah hubungan bila diperlukan atau bila ada
keadaan mendesak.
d) Dengan
diketahuinya alamat tersebut, bidan dapat mengetahui tempat tinggal klien dan
lingkungannya.
e) Pekerjaan
: ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh pekerjaan terhadap
permasalaha kesehatan klien.
Dengan mengetahui
pekerjaan klien, bidan dapat mengetahui pekerjaan klien dan bidan dapat
mengetahui bagaiman taraf hidup dan sosial ekonomi pasien, karena kejadian mola
hedatidosa juga dipengaruhi oleh keadaan social ekonomi yang rendah.
f) Agama
: ditanyakan untuk mengetahui kemungkinan pengaruhnya terhadap kebiasaan
kesehatanklien. Dengan diketahuinya agama klien, akan memudahkan bidan
melakukan pendekatan didalam melaksanakan asuhan kebidanan.
g) Pendidikan
: ditanyakan untuk mengetahui tingkat intelektualnya. Tingkat pengetahuan
pasien mempengaruhi sikap prilaku kesehatan seseorang.
h) Status
perkawinan : pertanyaan ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh
status perkawinan terhadap masalah kesehatan.
i)
Suku / ras : ditanyakan untuk mengetahui
kemungkinan pengaruhnya terhadap kebiasaan kesehatan klien. Pada mola
hedatidosa kebanyakan terjadi didaerah Asia.
2) Keluhan
utama
Ditanyakan
untuk mengetahui apa yang mendorong klien datang ke tenaga kesehatan. Untuk
mengetahui keluhan utama tersebut pertanyaan yang diajukan oleh tenaga
kesehatan bisa berupa “apa yang ibu rasakan, sehingga ibu datang kemari?”
Biasanya
pada kasus mola hedatidosa pasien datang dengan keluhan “Amenorrhea dan
tanda-tanda kehamilan, perdarahan pervaginam dari bercak sampai perdarahan
berat merupakan gejala utama dari mola hedatidosa, uterus sering membesar lebih
cepat dari biasanya dan tidak sesuai dengan usia kehamilan, tidak dirasakan
tanda-tanda adanya gerakan janin maupun ballottement, hiperemesis, pasien dapat
mengalami mual dan muntah cukup berat, preeclampsia dan eklampsia sebelum
minggu ke-24, keluar jaringan mola seperti buah anggur, yang merupakan diagnose
pasti.
3) Riwayat
menstruasi
Untuk mengetahui
gambaran tentang keadaan dasar dari organ reproduksi klien.
a) Menarche
: untuk mengetahui usia pertama kalinya klien mengalami menstruasi
b) Siklus
menstruasi : untuk mengetahui jarak menstruasi yang dialami dengan menstruasi
berikutnya
c) Banyaknya
: untuk mengetahui berapa banyak dasar yang keluar saat menstruasi.
Mungkin akan kesulitan
untuk mengetahui berapa banyak darah yang keluar saat ibu menstruasi, tapi
pertanyaan kita bisa lebih dalam untuk menanyakan “sampai berapa kali ibu ganti
pembalut dalam sehari” sehingga bisa ditentukan berapa banyak darah yang keluar
saat ibu menstruasi.
d) Dismenorhe
: untuk mengetahui apakah selama haid ibu mengalami nyeri yang berlebihan atau
tidak.
4) Riwayat
perkawinan : ditanyakan untuk mengetahui pengaruh riwayat perkawinan terhadap
masalah kesehatan yang timbul pada pasien.berapa kali kawin dan berapa lamanya
untuk membantu menentukan bagaimana keadaan alat kelamin ibu. Kalau orang hamil
sudah lama kawin namun belum mendapatkan anak, tentu nilai anak sangat bersar
sekali dan ini harus diperhitungkan. Hal- hala yang perlu ditanyakan kepada
klien mengenai riwayat perkawinannya adalah :
a) Kawin
: …….. kali
b) Usia
kawin pertama : …… tahun
c) Status
perkawinan
d) Lama
pernikahan
5) Riwayat
kehamilan , persalinan dan nifas yang lalu
Untuk mengethaui adanya
masalah-masalah yang timbul selama kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu.
Mencakup :
a) Jumlah
keguguran dan kelahiran : G..P..A..H..
Data ini digunakan
untuk mengetahui ini kehamilan yang keberapa, apakah pernah keguguran atau
tidak, serta apakah anak hidup atau tidak. Pada kejadian mola hedatidosa , ibu
dengan paritas tinggi merupakan salah satu pencetus terjadinya mola hedatidosa.
b) Golongan
darah
Data inimenjelaskan
golongan darah pasien, hal ini dilakukan untuk informasi jika terjadi
kegawatdaruratan selam hamil ataupun bersalin, jika ditemukan ibu mengalami
perdarahan maka akan memudahkan untuk melakukan transfusi darah karena kita
sudah mengetahui golongan darah ibu.
Pada kasus mola
hedatidosa klien akan dilakukan kuretase, jika terjadi perdarahan hebat maka
akan memudahkan kita untuk melakukan transfuse darah untuk klien.
6) Riwayat
kehamilan sekarang
Data ini mencakup
apakah selama ibu hamil apakah ada masalah yang dirasakan ibu, pada pasien mola
masalah yang timbul adalah mual dan muntah, pembesaran perut yang tidak sesuai
dengan usia kehamilan, serta perdarahan bercak dampai dengan perdarahan hebat.
7) Riwayat
penyakit
Digunakan untuk mengetahui apakah ibu pernah mengalami
penyakit yang akan mengganggu kehamilannya. Data ini penting untuk mengupayakan
pencegahan dan pengobatannya.
8) Riwayat
penyakit keluarga
Data ini diperlukan
untuk mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga terhdap
kesehatan ibu dan janinnya
9) Keadaan
sosial budaya
Untuk mengetahui
psikososial klien. Yang perlu ditanyakan adalah
a) Jumlah
anggota keluarga
b) Dukungan
materil dan moril yang didapat dari keluarga
c) Kebiasaan-kebiasaan
yang menguntungkan kesehatan
d) Kebiasaan
yang merugikan kesehatan
2.2.1.2 Pengumpulan
data objektif
Untuk
mengetahui keadaan setiap bagia tubuh dan pengaruhnya terhadap kehamilan untuk
diupayakan pencegahan dan penanggulangannya.
1. Pemeriksaan
keadaan umum
Secara umum ditemukan
gambaran kesadaran umum, dimana kesadaran pasien sangat penting dinilai sebelum
melakukan anamnesa. Selain itu pasien sadar akan menunjukkan ada atau tidaknya
kelainan psikologis. Kesadaran umum juga mencakup pemeriksaan tanda-tanda
vital, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas yang bertujuan untuk mengetahui
keadaam gizi pasien.
Pada ibu dengan mola
hedatidosa terjadi preeclampsia dan eklampsi, sehingga sangat perlu dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital teruma tekanan darah ibu.
2. Pemeriksaan
khusus
a) Pemeriksaan
inspeksi
1. Kepala dan rambut :
untuk mengetahui keadaan rambut, bersih, berketombe, hitam
2. Mata : untuk mengetahui apakah
terjadi anemia atau tidak. Pada kasus mola hedatidosa sering terjadi perdarahan
bercak sampai ke berat, sifat perdarahn bisa intermitten selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia.
3. Muka :
untuk mengetahui apakah ada chloasma
gravidarum serta oedema
4. Mulut : untuk mengetahui apakah ada
stomatitis atau tidak
5. Gigi : untuk mengatahui apakah ada
caries pada gigi atau tidak
6. Leher : untuk mengetahui ada atau tidak
nya pembengkakan kelenjer tyroid , dan kelenjar limfe
7. Payudara : observasi dilakukan untuk mengeatahui
ukuran, bentuk dan warna kulit dan papilla mamae. Palpasi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya benjolan, rasa sakit karena infeksi dan lain-lain.
8. Abdomen
: untuk mengamati gerak uterus
(his), gerak janin dan tanda-tanda kehamilan, serta perhatikan besarnya perut
ibu, apakah sesuai dengan usia kehamilan atau tidak.
Palpasi : untuk
mengetahui tinggi fundus uteri yang erat kaitannya dengan umur kehamilan .
pemeriksaan Leopold dengan palpasi dapat menentukan letak janin dalam uterus,
cekungan perut, nyeri tekan, his, dan lain-lain.
Pada kasus mola
hedatidosa : ditemukan pembesaran perut tidak sesuai dengan usia kehamilan,
tidak teraba janin, uterus lunak secar menyeluruh dan tidak terdapat air
ketuban.
9. Genitalia
: untuk melihat apakah terjadi bengkak pada vulva, serta lihat apakah ada
pengeluaran darah dari genetalia ibu
10. Ekstremitas
: untuk melihat apakah ada masalah pada tangan dan kaki ibu, terutama pada
tangan, lihat pada kuku apakah tampak pucat dan sianosis. Kemudian lihat pada
kaki ibu apakah ada varises atau oedema.
3. Pemeriksaan
penunjang :
1) Urine
: untuk mengatahui apakah ada kandungan albumin dan reduksi pada urin.
Pada kasus mola
hedatidosa, beta HCG urin lebih tinggi.
2) Kadar
Hb : untuk mengetahui apakah klien mengalami anemia atau tidak pada masa
kehamilan.
Perdarahan pervaginam
dari bercak sampai perdarahan hebat merupakan gejala utama dari mola
hedatidosa, sifat perdarahn bisa intermitten selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia.
3) Golongan
darah : jika terjadi perdarahan pada klien pada masa kehamilan atau setelah
melahirka, sehingga dapat dicari darah yang sesuai dengan golongan darah ibu.
2.2.2
Langkah
II : Interpretasi Data
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar
terhadap diagnose atau masalah dan kebutuhan kline berdasarkan interpretasi
yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah dikumpulkan
diinterpretasikan sehingga ditemukan diagnose atau masalah yang spesifik.
Kata diagnose dan masalah keduannya digunakan karena
beberapa masalah tidak dapat diselesaikan seperti diagnose tapi membutuhkan
penanganan yang dituangkan dalam sebuah rencana asuhan terhadap klien.
Masalah
ini sering menyertai diagnose. Diagnosa yang ditegakkan bidan dalam lingkup
praktek kebidanan harus memenuhi standar nomenklatur kebidanan, yaitu :
a. Diakui
dan disahkan profesi
b. Berhubungan
langsung dengan praktek kebidanan
c. Memiliki
ciri khas kebidanan
d. Dapat
diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan
e. Di
dukung oleh clinical judgement dalam lingkup praktek kebidanan..
Di dalam interpretasi
data, terdapat tiga komponen penting didalamnya, yaitu :
a. Diagnosa
Ibu G P A H usia
kehamilan … minggu , Keadaan umum ibu kurang baik dengan …….
b. Masalah
Masalah yang mungkin
timbul adalah :
Masalah psikologi
karena ketakutan ibu akan tindakan yang akan dilakukan. Biasanya ibu dengan
mola hedatidosa akan dilakukan kuretase.
Gangguan rasa nyaman
sehubungan dengan darah yang keluar karena mola hedatidosanya.
c. Kebutuhan
Disesuaikan dengan
adanya masalah , seperti :
Berikan ibu dukungan
psikologis
Dasar : ibu terlihat
cemas karena akan dilakukan kuretase.
2.2.3
Langkah
III : Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial
berdasarkan rangkaian diagnose dan masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah
ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan sambil
mengamati klien, bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnose atau masalah
potensial ini benar-benar terjadi.
Kemungkinan masalah potensial yang
timbul terhadap ibu adalah :
Choriocarsinoma : Menyebabkan tumor
ganas dari trofoblast, timbul setelah kehamilan mola hedatidosa
2.2.4
Langkah
IV : Identifikasi Kebutuhan yang Memerlukan Tindakan Segera
Mengidentifikasi perlunya tindakan
segera, baik tindakan intervensi, tindakan konsultasi, kolaborasi dengan dokter
atau rujukan berdasarkan dengan kondisi klien.
Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses
pelaksanaan kebidanan dalam kondisi emergency , berdasarkan hasil analisa data
bahwa klien dengan mola hedatidosa harus segera dilakukan tindakan kolaborasi
dengan dokter spesialis gynecology.
2.2.5
Langkah
V : Melaksanakan Asuhan Yang Menyeluruh (Intrevensi)
Suatu rencana asuhan
harus disetujui oleh kedua belah pihak baik bidan maupun klien agar
perencanaan dapat dilakukan dengan efektif. Semua keputusan harus bersifat
rasional dan valid berdasarkan teori serta asumsi yang berlaku tentang apa yang
akan dilakukan. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan sehingga dapat
direncanakan asuhan sesuai dengan kebutuhan
2.2.6
Langkah
6 : Pelaksanaan Tindakan Asuhan Kebidana (Implementasi)
Tindakan yang dilakukan bidan sesuai
dengan rencana yang telah disusun. Tindakan yang dilakukan berdasarkanprosedur
yang telah lazim diikuti dan dilakukan.
Didalam tahap ini, bidan melakukan
observasi sesuai dengan criteria yang telah direncanakan. Bila bidan perlu
memberikan infuse atau pemberian obat lain, maka tindakan tersebut dilakukan
sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku.
2.2.7
Langkah
7 : Evaluasi Asuhan Kebidanan
Langkah akhir dari manajemen kebidanan
adalah evaluasi, namun sebenarnya evaluasi ini dilakukan pula setiap langkah
manajemen kebidanan. Pada tahap akhir, bidan harus mengetahui sejauh mana
keberhasilan usaha kebidanan yang diberikan kepada klien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar